Monday, June 23, 2014

Apalah Arti Uang Receh

Repost from Sept 08, 2013

"Terima kasih, Mba.." kata Mba Kasir sambil memberikan uang kembalian berikut sebuah permen kecil berbungkus hijau. Permen itu bukan bonus karena berbelanja di mini market tersebut, tapi karena Mba Kasir tidak punya uang recehan untuk kembalian Rp. 200,-. Memori saya tentang permen pengganti receh ini melekat cukup kuat padahal kejadian seperti itu sudah sangat lama tidak pernah saya alami lagi; mungkin lebih dari lima tahun. Saya tidak ingat apakah sekarang masih ada mini market atau supermarket yang masih menggunakan permen sebagai alat bayar. Namun dulu fenomena ini sangat marak baik di supermarket, mini market, ataupun restaurant sampai-sampai ada artikel yang membahasnya.

Artikel tersebut, yang entah ditulis oleh siapa, berkesan cukup mendalam karena sampai sekarang saya masih suka senyum geli kalau ingat atau membahas itu lagi. Dalam artikel itu dipertanyakan apakah kita boleh membayar dengan menggunakan permen untuk benda seharga di bawah Rp. 500,-. Bayangkan, sungguh pemandangan yang menggelikan bukan kalau ada orang yang mengeluarkan uang sebesar Rp. 1.000,- berikut beberapa buah permen untuk membeli sebungkus kopi instan seharga Rp. 1.500,-? Jujur, saya sangat ingin mencoba tapi saya masih terlalu sayang pada harga diri untuk mencoba melakukan hal sekocak itu.

Setelah bertahun-tahun permen kembalian menghilang dari kebudayaan jual-beli kita - minimal saya tidak pernah mengalami lagi - saya menemukan fenomena lain sehubungan dengan uang kembalian. Kali ini saya rasa jauh lebih parah daripada permen kembalian.

Akhir tahun lalu, 2012, saya makan malam bersama keluarga di sebuah restaurant Jepang yang baru buka di sebuah mall di bilangan utara kota Bandung. Setelah selesai, kami membayar dan menerima kembalian. Waktu saya hitung ternyata uang kembalian yang saya terima tidak sesuai; kekurangannya Rp. 1.800,-. Hati saya tergelitik untuk bertanya tapi saya malu. Dalam hati saya mengatakan pada diri sendiri, "Ah, uang kecil koq pake ribut. Makan saja kita menghabiskan sekian ratus ribu, masa uang kecil ribut." Tapi sesaat sebelum memasukkan uang kembalian yang kurang tadi berikut notanya ke dalam dompet, saya sadar ternyata ada minuman kaleng yang belum tertagihkan. Di supermarket, minuman seperti itu harganya di bawah Rp. 10.000,- jadi saya menyiapkan uang Rp. 15.000,- dan pergilah kita ke meja kasir untuk membayar. Nota tagihan untuk minuman kaleng tersebut keluar dan ternyata saya harus membayar sekitar Rp. 17.000,- termasuk tax & service. Waktu saya merogoh tas untuk mengeluarkan kekurangannya, suami saya berkata, "Pakai saja selisih uang kita yang ada di kembalian tadi." Mungkin karena merasa tidak enak hati, maka Mas Kasir mengiyakan.

Saya pikir kejadian seperti ini hanya terjadi di restoran ini; karena baru buka jadi masih belum siap uang receh untuk uang kembali. Ternyata saya keliru. Malam ini saya makan di restoran Jepang yang baru buka di area Bandung tengah. Karena katanya ada perbedaan management antara penyedia makanan dan minuman, maka minuman dibayar lebih dulu dalam nota terpisah. Ternyata minuman memang disediakan oleh restoran Jepang satu lantai di bawah sementara kami makan di restoran Jepang (yang berbeda jenis) di lantai dua. Saat membayar dan menerima uang kembali dari kedua restoran ini, saya mendapati bahwa uang kembali yang saya terima tidak sesuai. Kali ini jumlah kekurangannya jauh lebih kecil, hanya hitungan di bawah Rp. 1.000,-. Saya tidak mau memperpanjang masalah karena, lagi-lagi, saya malu meributkan uang kecil padahal saya menghabiskan beberapa ratus ribu di restoran itu. Tapi hati saya penasaran dan jadi teringat kejadian akhir tahun lalu. Karena itu, saat sang pelayan restoran memberikan kuestioner, tumpahlah unek-unek dalam hati saya.

Setelah saya renungkan, saya teringat bahwa saya cukup sering mengalami uang kembalian receh yang diminta oleh pihak supermarket. Salah satu supermarket chain besar di Indonesia mempunyai kebiasaan untuk "meminta" uang kembalian sejumlah di bawah Rp. 500,-. Permintaannya kurang lebih seperti ini, "Dua ratus rupiahnya boleh untuk disumbangkan, Bu?" Dan jumlah yang diminta itu akan dicantumkan dalam struk belanja sebagai "donasi". Setelah merenung, saya sadar bahwa saya tidak pernah merasa kesal dengan kejadian ini. Mungkin karena judulnya donasi, saya lebih yakin uang receh itu akan berguna untuk orang-orang yang memang membutuhkan.

Saya tersadar bahwa ini bukan mengenai jumlahnya tetapi lebih pada kejujuran kasir dan/atau pemilik restoran tadi. Saya yakin tulisan saya di kuestioner restoran tadi hanya mewakili segelintir orang saja, tapi setidaknya saya puas dengan mengungkapkan apa yang saya rasakan. Mudah-mudahan ini hanya kejadian sekali-sekali yang terpaksa dilakukan karena restoran baru tersebut belum menyiapkan uang receh untuk uang kembali. Mudah-mudahan ini tidak akan menjadi fenomena pengganti dari fenomena sebelumnya yaitu menggunakan permen sebagai alat bayar.

Friday, June 20, 2014

My Me Time, Alone In Bali

This is the last day of my holiday, my me time, alone in Bali. What have I accomplished? Have I achieved what I came here for?

A friend said that if I wanted to do some contemplating and reflecting, I was supposed to come to a guru. I wasn't supposed to be by myself.

Another friend said that if I wanted to refresh and renew, rediscover my reasons for being, I was supposed to join a meditation class.   

I lead with my heart. My heart said I should go by myself. My heart said I should spend some time alone. And I did.

So, how did it go?

In the beginning it was rather awkward. At the airport I saw people going in groups, small and big - with families, with a partner, with friends - and this made me feel somewhat selfish. There I was, leaving for a holiday in Bali, all by myself.

Then, as soon as I reached Bali, I felt a lot better. I left my family at home but I knew that part of this trip was for my family. I didn't like the me that I had turned into the last few months. Well, I did see how I'd changed in the last few years. But the last few months were terrible. I was in the brink of a nervous breakdown. I even had a few anxiety attacks that once led me to the ER. And once, without warning, I found myself opening up to my very close friends, something I would not do in normal circumstances. This is surely a sign that I could bear it no longer.

A friend told me to go around Bali and have fun.

Another friend told me to visit Kintamani and Bedugul for reasons I did not care to find out. 

Another friend advised me to rent a car and go to places I want to visit.

Again, I lead with my heart. My heart said I should just stay still and be quiet. My heart said I should just contemplate. And I did.

Anyway, keeping my words not to deal with work and my small "universe" was tougher than I thought. I knew that some friends told me to just turn off my line of communication. No mobile devices whatsoever. I tried that, but it made me uneasy. I wanted my life to be on pause. But I wanted life around me to run as usual. I wanted to know that my world still revolved even without me present, because that was what my trip was about. I wanted to be on the sideline from time to time. I didn't like to be the centre of my small "universe." I didn't like to be the "military base" (borrowing Nick's terms about me). I didn't want to be the most important part of my small "universe." And keeping my mobile devices on allowed me to see and feel that the world did revolve without me present.

Keeping my mobile devices on (most of the time) also made me realize that I matter in this world. I know that I am needed and I am missed (Sorry for not replying your texts or answering your calls, though. Nothing personal, really!). I also know that what I do in this world matters. Otherwise, people would not realize I was "missing." Well, I guess this is just me being vain. #blush#

This alone has made me realize that I should just embrace whatever role God has entrusted me with. I shouldn't have complained. I shouldn't have whined. I should just embrace. I should just enjoy it while it lasts.

Well, several times during this "me time", I felt like I blew it. I was negatively affected by what was going on. I failed to embrace the moment. I forgot to let go. I snapped. I controlled. I dominated, even from afar. I even thought that the whole trip would be a waste.

But, I'd like to believe that God knows me soooo well that He kept on pushing me to the limit so I could see which way to go once I reached the diverging lanes.

There was once a memorable incident. (Well, the word "memorable" cannot quite describe it, but I can't think of a better word.) I was sitting on the beach, far from the water line. I didn't want to get wet so I stayed in a safe distance. I looked at the waves. I listened to the sound of the wind, the sound of the water, the sound of nature, the sound of "God." Then, there they came... feelings that I knew I had to let go but I stubbornly kept in the centre of my heart. Feelings that I was supposed to just let go so I could move on with my life. Feelings that hurt me so much. Feelings that became the biggest reason for this trip. Then God touched me. He came with the water that suddenly touched me. I was sitting very far from the water line. I didn't want to get wet. But the water lapped my feet. I was sitting very far from the water line but the water came close to me. God touched me. That's how I want to believe. Because right at that moment I knew... I knew why... I knew how... I just knew...

And now, at the end of my trip, I can proudly say that I have accomplished some of the things I set out to do. I'm going home with a new perspective on life. I'm going home knowing that I'm not alone.

There is a big gaping hole, a deep scar, that I have to carry home now, though. But still, I'm happy. This scar is a reminder that I'm human. I'm alive. I have feelings. I'm not numb. After all, what's the point of living when we can no longer feel. I'd rather hurt than feel nothing at all.

I came here hoping to refresh and renew. I'm going home with new perspectives.

I came here hoping to rediscover my reasons for being. I'm going home with confidence.

I came here hoping to wash away my pain, my burdens. I'm going home with an aching heart to remind me I'm human.

I am content.


PS:
Thank you, my Beacon, Aan, for understanding how I need this trip.
Thank you, my Little Eaglet, Nick, for letting me have this precious "me-time."
Thank you, my Inspiring Mom, for believing in me.
Thank you, my ever-trusting Sister, Yinni, for worrying about me so much that you must've sent continuous prayers while I'm here.
Thank you, my dearest Sister, Meily, for not questioning me why.
Thank you, my ever-understanding Sister, Memey, for showing me that it's ok.
Thank you, my best Confidants, Herny, Irene, Miming, for your constant support.
Thank you, my Invaluable Guru, Sapta Dwikardana, for showing me that I'm not (that) weird. 


And for my little baby in Heaven, I love you... Mommy's letting you go but never will you ever be forgotten.. You are forever in my heart.. Till we meet again.. I love you...


Wednesday, June 18, 2014

Raising Positive Teens - Part 1

Nick: I think Koko Dylan doesn't want to play with me anymore. 
Me: Why do you think so?
Nick: He's always so busy with his i-Pod and he almost never talks to me now. 
Me: O yes, I can see that. 
Nick: He used to play with us but now he's very quiet. Maybe he doesn't like me.
Me: Koko Dylan is turning into a teenager, Nick. It's not that he doesn't like YOU. He likes different things now. His own music, his own gadget..
Nick: Are all teenagers like that? 
Me: Hhhhmmm... All teenagers, like all children, are different. But most children change when they turn into teenagers.
Nick: How?
Me: For one, they're sometimes snappy.. especially to their own parents.
Nick: I will NEVER change. I will NEVER be like Koko Dylan. 
Me: Okay.... (searching for the right words)
Nick: And I will NEVER be snappy.. especially to you! I love you.. (tears welling up his little eyes)
Me: I love you, Nick... (hugging him even tighter, knowing that this, too, shall pass one day)

It happened almost two years ago when he was just eight; when he was still my little knight, my little eaglet, my biggest fan... Now, he's five months short to eleven years old and he has forgotten his promise not to be snappy. He's snappy when we ask him to repeat a statement that we fail to understand. He's snappy when things don't go his way. He's snappy when we ask him to do things he doesn't want to do. And that's not all... He locks his bedroom door. He doesn't listen and always asks "why?" in a more pressing manner. He enjoys spending more time with his friend than with his once-inseperable cousin. He ignores us from time to time. And he's just a pre-teen!

Well, he still kisses me in private as well as in public, holds my hands when walking, hugs me when he comes home from school (when he's no too tired), cuddles and asks me to tuck him in every night. Part of him is still the little eaglet that I know. But I know that very soon he's going to fly and soar, reaching his own star. And when the time comes, I'm gonna have to let go. 

My fellow parents, when your once-sweet-and-cute-and-cuddly babies turn to somebody remotely similar to the ones you know for over 10 years, do not panic! Instead, be HAPPY and be THANKFUL!

But how can we be happy and thankful for those hard times? It's soooo hard to love that snappy little mouth; not to mention the hawk-eye look everytime we ask him to do something he doesn't want to do or the cold shoulder we get everytime we want to know what's going on in that not-so-little mind. Well, let's first look at the big picture and once you can see that with a clear mind, your roller coaster journey with your teens will be worthwhile.

First, let's look at what happens in different stages of life. 

Nobody, your child included, is born with established identity, except for the genetic traits that you pass down to him. So when your child is born, he is a clean slate. In the first five years of his life, he accumulates as much data as possible from the world around him. The next five years is a period when the data is refined and your child shows certain behavior that reflects his sense of self according to the data he has previously accumulated. During pre-teen, between 10 and 12 years of age, your child is forming beliefs about the world and about himself. These beliefs rule his actions (moral and ethics). Then, after about 12 years living the safe and comfortable life as he knows it, suddenly, BAM!!!! along comes puberty. 

In this period - PUBERTY - "everything he knows about life and about himself is swept away in a rush of surging hormones and he has to START OVER." (Positive Discipline For Teenagers - Nelson and Lott) 

Imagine yourself driving along a smooth highroad, Michael Buble singing "Home" in the background, windows down so you can feel the breeze... then, out of nowhere, you see light in front of you, so bright that you lose control of where to go. Having passed this road a thousand times, you know perfectly well there is no turning so you only have one choice: drive on! You keep going, more slowly, trying to figure out what is happening and where you are heading. That, my fellow parents, is what our children are feeling when they enter adolescence.

Adolescence, or the teenage years, is a transition time for kids and parents alike. If you think it's hard for you, it's even harder for them! They are feeling some things they have never felt before. They experience changes to their bodies that they can only imagine before. All that they have learnt about puberty, at school as well as at home, come rushing to them in pails, in buckets, and in torrents. They are at a loss. 

To make matters worse, the education system all over the world sees this time as the perfect momentum to separate our children from the trusted and well-established connection in a stable group of primary teachers. During high school, teachers do not relate to students on a personal level anymore because, at this time, teachers change every hour according to subjects. Children can no longer feel safe in the hands of one or two teachers that can give them constant guidance to help them understand. Now, they have many teachers but none of them show interest in getting to know them personally. They come and go as the bell rings. They've lost a trusted source of information. 

How about parents? Us? Well, with a growing needs to survive in this modern world, most families need to have two sources of income, both from the dad and the mom. Thus, you have less time to spend with your children. When you do hang out together, more often than not, you choose safe subjects; subjects that do not intrude and subjects that do not need serious discussions. This is for the sake of quality time, some people say. But one thing that most people share in common is that they don't feel at ease talking about hormonal changes, sexual or non sexual - the one area that your children are at a complete loss. 

Then, there is the inexplicable need to "rediscover" themselves. They no longer want to be associated with being kids. They want to separate from the stereotype of being children. They are big now. They want you to know that they can do things without your help (read: hovering around and breathing down their neck). However, they know perfectly well that they need you to help them survive. Yet, they are too proud to ask. They need to create a new identity, an identity that they can call their own. They are no longer your little knight, little princess, little eaglet, little owlet, little fawn, and other sweet looking babies you can think of. They need to come out of their shell - transforming like a butterfly. 


For them to be able to do this, they need support. From you, the parents. They need you to say that everything will be alright. They need to hear from you "It's ok, dear. Go seize the day. Make mistakes and learn from them! We're here whenever you need us."

But what happens in real life? As parents, we worry. As parents, we want to protect them. As parents, we want to make sure they're safe. As parents, we want them to succeed. As parents, we want them to avoid the mistakes that we did in the past when we were their age. To safe them from failure, from getting hurt, from being left behind. We want to safe them from a process of growing! 

Fellow parents, this series of articles "Raising Positive Teens" are not meant to instruct you. This is merely a reminder that we were once a teenager. We might have been lost in the past but we came out fine. We might have failed in the past, but we got up and continued our journey. And here we are, stronger than before. Let's help our teenagers survive their own battle, by first getting to know what's going on in their little world of adolescence. 


Next in the series:
- what your teenagers are facing in the outside world
- how we can help them survive




Tuesday, June 17, 2014

Berserah Bukan Menyerah

Buatku, kehidupan seperti sebuah event marathon. Di saat kita memutuskan untuk ikut dalam kegiatan ini, hanya ada satu pilihan: SELESAIKAN sampai ke garis finish! Well, tentu saja ada pilihan untuk berhenti di tengah, menyerah dan drop out. Tapi setiap marathon runners selalu mempersiapkan diri mereka dengan serius. Latihan dan persiapan yang  mereka lakukan menunjukkan bahwa quitting is never an option. Jadi saat mereka memulai, hanya satu yang ada dalam pikiran mereka: reach the finish line!

Seperti itulah aku melihat kehidupan. Sebuah pertandingan marathon. Bedanya adalah bahwa kita sebagai peserta tidak memilih dengan rela hati. Apa pun alasan orangtua kita saat mereka melahirkan kita, kita DIPAKSA untuk menjadi peserta marathon event SEUMUR HIDUP kita. Seperti Pheidippides, messenger dan pahlawan Yunani, yang harus berlari dari Battle of Marathon ke Atena dengan satu tujuan: menyampaikan berita kemenangan mereka. Konon, begitu tujuan tercapai, Pheidippides langsung tumbang dan mati. Bagiku legenda ini tragis. Namun bagi sejarah hal ini adalah tindakan kepahlawanan. Dan seperti inilah aku melihat kehidupan. 

Aku yakin di atas sana Tuhan punya peta kehidupan yang harus kita selesaikan. Suka tidak suka, mau tidak mau, rela hati atau terpaksa, tantangan dan rintangan sudah dipetakan juga dalam buku kehidupan kita. Bagaimana kita menjalani rangkaian tantangan dan rintangan itu lah yang akan menentukan reward yang bisa kita terima di akhir kehidupan. Sebagai marathon runners, kita punya banyak pilihan bagaimana kita menyelesaikan pertandingan kita. Kita bisa memilih untuk berlari sambil bernyanyi, berlari sambil menggerutu, berlari dengan penuh semangat, atau berlari sambil marah-marah, berlari dengan selalu fokus pada tujuan akhir, atau berlari asal tanpa arah... we have all the choices! Satu hal yang tidak bisa kita pilih adalah berhenti. Quitting is never an option!

Bagiku pribadi, dalam Life Marathon - pertandingan marathon kehidupan - aku punya dua pilihan besar: berserah atau menyerah?

Hhhmmm... berserah atau menyerah? Pilihan yang mempunyai dasar kata yang sama tapi punya arti yang sangat berbeda. Walaupun pada prakteknya perbedaan itu seringkali tidak terlihat, dan alhasil yang terjadi adalah manusia (baca: aku) menjadi apatis dan kehilangan motivasi...berlari asal tanpa arah!

Sebagai seorang yang terlahir dominan kortex (pinjem istilah fingerprint analysis), konsep berserah itu sangat menakutkan. Konsep berserah bagiku tidak dapat diterima dengan mudah karena tidak dapat diterima oleh logika. Bagaimana tidak? Berserah berarti mempercayakan diri kita sepenuhnya pada Sang Pencipta dengan menanggalkan semua hak pribadi kita dan membuang semua kedagingan kita. Berserah dilakukan dengan rela hati tanpa paksaan dari siapa pun dan karena kondisi apa pun. 

Dengan mempercayakan diri sepenuhnya pada Sang Pencipta dan menanggalkan semua hak-hak pribadi kita dengan rela hati dan tanpa paksaan, kita tetap merasa aman dan damai. Kita selalu yakin bahwa rintangan apa pun yang kita temukan dalam Life Marathon kita, semua pasti baik-baik saja. Ibaratnya kalau kita diminta untuk melompat dari gedung 73 lantai, kita tinggal lompat tanpa berpikir, karena kita tahu di dasar sudah ada kasur besar dan empuk yang akan "menangkap" tubuh kita. Tapi mari berhenti sejenak... Apakah kita yakin bahwa kasur besar itu cukup anginnya dan tidak akan tiba-tiba kempes pes pes? Apakah kita yakin bahwa kita akan mendarat di situ? Atau malah salah sasaran dan mendarat di trotoar? Apakah kita yakin bahwa angin tidak akan tiba-tiba bertiup dan kita tiba-tiba membentur jendela-jendela gedung? Ah, sudah lah.. otakku memang sulit menerima bahwa ada hal-hal yang tidak perlu dipikirkan. 

Tapi Tuhan memang hebat dalam mendewasakan manusia. Dalam perjalanan Life Marathon yang sudah disiapkan khusus bagiku, aku tentu saja sering harus menghadapi rintangan dan tantangan. Dari segala rintangan yang aku harus lewati, ada satu  masalah besar yang sangat mengganggu. Pelik, menyesakkan dada, dan seolah tak berujung. Bertahun-tahun masalah ini aku coba hadapi dengan kekuatan otakku yang tidak terlalu besar. Aku menolak berhenti berusaha dan berjuang agar aku mampu keluar dari masalah ini. Kalau ibarat petinju, aku sudah babak belur, berdarah-darah, patah tulang di beberapa tempat. Dan aku masih terus berusaha dengan usaha dan kekuatanku sendiri, menolak untuk berserah. Bukan karena aku tidak percaya pada Sang Pencipta, tapi karena aku takut. Konsep berserah ini membuatku seolah tak berdaya. Dan aku tidak suka berada dalam posisi tidak berdaya. Aku pejuang. Aku seorang fighter. Walaupun aku tahu tenaga dan pikiranku terbatas tapi dalam hidupku aku selalu berpikir bahwa kalau aku tidak berjuang, aku akan mati. 

Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku lelah berjuang. Aku mulai memaksakan diri untuk menikmati masalah dan tekanan yang aku alami. Sebagai pelari Life Marathon aku tidak punya pilihan kecuali terus berlari. Aku punya pilihan untuk berlari sambil marah dan menyesali nasib. Tapi aku tahu bahwa dengan begitu, perjalananku akan terasa sangat berat dan aku akan terus berdarah-darah. Jadi aku memutuskan untuk berlari sambil bernyanyi. Aku berlari sambil terus fokus pada satu tujuan, menyelesaikan pertandingan marathon hidupku. Aku berlari tanpa bertanya lagi "why me?". Sudah lelah aku bertanya karena tidak pernah mendapat jawaban. Akhirnya aku melakukan satu-satunya hal yang paling aku hindari selama hidupku. 

Aku tidak berserah. Aku menyerah. Kenapa? 

Karena pada saat kita berserah, kita melakukannya dengan rela hati tanpa paksaan. Pada saat kita berserah, kita berani melompat dari gedung 73 lantai tanpa berpikir. Just do! Damai sejahtera dan sukacita menjadi reward yang sudah pasti didapatkan di tangan tanpa usaha. Tanggalkan semua hak pribadi dan kedagingan kita. Kita seperti sebuah botol kosong yang hanyut dibawa aliran air. Kemana pun Sang Pencipta membawa kita, kita yakin dan percaya kita akan sampai tujuan dengan selamat. 

Namun menyerah berarti kita menerima kekalahan kita. Kita berjuang sampai titik darah penghabisan dan akhirnya tahu bahwa semua sia-sia. Ada dua pilihan, terus berjuang dan kita akan terus berdarah dan terluka; atau menyerah dan katakan "cukup!" Cukup sudah benturan, pukulan, tusukan, dan tikaman yang kita dapat terima. Sekarang saatnya kita beristirahat. 

Saat beristirahat inilah kita punya kesempatan untuk berdiam diri. Refleksi atas semua kejadian dalam hidup kita yang membuat kita berdarah-darah dan terluka di seluruh tubuh dan jiwa kita. Saat beristirahat inilah otak dan tubuh kita berdiam. Telinga dan mata hati kita mulai bekerja lebih tajam. Janji-janji yang diberikan Sang Pencipta mulai terdengar masuk akal dan lebih mudah dicerna. Sebagian mungkin karena otak dan tubuh kita sudah lelah bekerja. Sebagian lagi mungkin karena ini adalah tujuanNya sejak awal. Agar kita bertumbuh menjadi dewasa. Agar kita bertumbuh menjadi manusia baru yang lebih siap untuk masuk dalam tempat yang sudah Dia siapkan bagi kita. 

Bagiku, hidup adalah pertandingan marathon. Quitting is never an option. Reaching the finish line is a must.

Bagiku, berserah tidak mendewasakan. 

Bagiku, menyerah adalah saat kita keluar dari bejana yang sudah melebur dan membentuk kita. 

Bagiku, menyerah adalah saat di mana logika berhenti bicara. 

Bagiku, menyerah adalah saat kita mampu mendengar suara Sang Pencipta dengan lebih jelas. 

Karena pada saat kita menyerah, kita menanggalkan semua ke-aku-an kita dan mulai membiarkan kuasa Sang Pencipta bekerja. 


Thursday, June 5, 2014

Happy Birthday To Me


Biasanya hari terakhir menjelang tiup lilin, saya merenung. Merenung tentang keinginan pribadi untuk tahun berikutnya. Merenung juga tentang berkat sepanjang tahun yang saya terima, tapi kebanyakan apa yang mengisi kepala adalah cita-cita besar untuk setahun di depan. Apalagi setelah beberapa tahun saya lakukan ini dan Big Boss selalu campur tangan mengabulkan keinginan saya, saya semakin gigih mencari my wish for the next year.

Tahun ini, menjelang lilin ke-41, saya kembali merenung, mencari kualitas diri apa yang ingin saya capai lebih sempurna. Sesungguhnya perenungan tahun ini tampaknya sudah dimulai lebih cepat karena sejak dua bulan lalu saya seringkali berpikir tentang ini. Tapi sampai saat saya duduk di depan laptop, belum ada satu pun kata yang terpikir. Hmmm… apakah ini efek mid-life crisis seperti yang terus menerus digaungkan oleh beberapa teman? I don’t know…

Jadi apa yang ada dalam kepala saya?

Perenungan malam ini banyak membuat saya tercekat, jantung saya berdegup kencang, dan bernafas pun terasa agak sulit. (Harus hati-hati, or else saya bisa masuk IGD lagi.. hahaha…) Anyway, kilasan-kilasan pengalaman muncul begitu jelas membuat menyesakkan dada. Malam ini saya seperti menonton film kehidupan saya dengan jelas. Dan perenungan malam ini seperti menjadi tanda betapa saya ternyata sangat menginginkan kehidupan yang berbeda. Perenungan malam ini seperti menjadi momentum pengingat bahwa bersyukur membuat saya menjadi malas membuat perubahan dalam hidup.

Don’t get me wrong… Saya tetap bersyukur dengan segala berkat melimpah yang tidak pernah berhenti mengalir dalam kehidupan saya. Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkan saya. Tidak pernah satu detik pun Dia ijinkan saya berdiri sendiri menentang badai. Tidak pernah satu detik pun Dia biarkan saya memikul beban saya sendirian. Tidak pernah satu detik pun Dia biarkan saya jatuh. Dia selalu ada memegang erat tangan saya, berjalan perlahan menyusuri jalan setapak, betapa pun berat dan sulit.

Don’t get me wrong.. again… Saya yakin bahwa karena saya selalu bersyukur akan semua hal, hidup menjadi lebih berarti. Saya yakin bahwa karena saya bersyukur akan semua hal, yang baik maupun yang tidak, saya mampu bangun pagi setiap hari dengan keyakinan bahwa semua pasti baik-baik saja. Saya yakin bahwa karena saya bersyukur saya mampu bertahan hingga saat ini.

Tapi malam ini saya melihat betapa selama ini rasa bersyukur ini akhirnya membuat saya nrimo dan tidak mau lagi berusaha. Saya takut bermimpi dan takut berharap. Pada akhirnya saya memaksa diri saya untuk menghentikan mimpi dan harapan yang saya miliki supaya saya tidak perlu kecewa.

Saya ingat di satu masa betapa keras usaha saya menyuarakan keinginan dan harapan saya. Saya ingat dengan sangat jelas betapa kuat saya mengulurkan tangan dan meraih. Saya ingat rasa itu. Saya ingat kesedihan itu. Saya ingat betapa saya berdoa meminta dan meminta supaya keadaan bisa berpihak pada saya. Saya ingat berdoa dan menyerahkan segalanya ke dalam tangan-Nya. Saya ingat rasa itu. Saya ingat kesedihan dan kekecewaan itu, saat saya melihat perlahan-lahan harapan itu lepas dari genggaman, hanyut terbawa air mata. Dan saya ingat pada akhirnya saya mengubur semua harapan.

Malam ini, di ujung usia 40, saya tidak punya permintaan besar. Saya tidak meminta Tuhan menjadikan hidup saya berarti bagi orang lain seperti harapan saya beberapa tahun lalu. Saya tidak meminta Tuhan menjadikan saya terang bagi orang lain seperti harapan saya beberapa tahun lalu. Saya tidak meminta Tuhan menjadikan saya manusia bijaksana seperti harapan saya beberapa tahun lalu.

Malam ini, menjelang usia 41, saya hanya ingin berada di bawah perlindungan sayap-Nya. Saya hanya ingin berada dalam genggaman tangan-Nya. Saya hanya ingin merasa aman dan damai. Saya hanya ingin melepas semua topeng yang mengatakan “saya baik-baik saja.”

Malam ini, doa saya untuk satu tahun ke depan hanya agar rasa lelah ini Dia angkat.

Happy 41st birthday, dear Me.

(June 3, 2014)