Tuesday, June 17, 2014

Berserah Bukan Menyerah

Buatku, kehidupan seperti sebuah event marathon. Di saat kita memutuskan untuk ikut dalam kegiatan ini, hanya ada satu pilihan: SELESAIKAN sampai ke garis finish! Well, tentu saja ada pilihan untuk berhenti di tengah, menyerah dan drop out. Tapi setiap marathon runners selalu mempersiapkan diri mereka dengan serius. Latihan dan persiapan yang  mereka lakukan menunjukkan bahwa quitting is never an option. Jadi saat mereka memulai, hanya satu yang ada dalam pikiran mereka: reach the finish line!

Seperti itulah aku melihat kehidupan. Sebuah pertandingan marathon. Bedanya adalah bahwa kita sebagai peserta tidak memilih dengan rela hati. Apa pun alasan orangtua kita saat mereka melahirkan kita, kita DIPAKSA untuk menjadi peserta marathon event SEUMUR HIDUP kita. Seperti Pheidippides, messenger dan pahlawan Yunani, yang harus berlari dari Battle of Marathon ke Atena dengan satu tujuan: menyampaikan berita kemenangan mereka. Konon, begitu tujuan tercapai, Pheidippides langsung tumbang dan mati. Bagiku legenda ini tragis. Namun bagi sejarah hal ini adalah tindakan kepahlawanan. Dan seperti inilah aku melihat kehidupan. 

Aku yakin di atas sana Tuhan punya peta kehidupan yang harus kita selesaikan. Suka tidak suka, mau tidak mau, rela hati atau terpaksa, tantangan dan rintangan sudah dipetakan juga dalam buku kehidupan kita. Bagaimana kita menjalani rangkaian tantangan dan rintangan itu lah yang akan menentukan reward yang bisa kita terima di akhir kehidupan. Sebagai marathon runners, kita punya banyak pilihan bagaimana kita menyelesaikan pertandingan kita. Kita bisa memilih untuk berlari sambil bernyanyi, berlari sambil menggerutu, berlari dengan penuh semangat, atau berlari sambil marah-marah, berlari dengan selalu fokus pada tujuan akhir, atau berlari asal tanpa arah... we have all the choices! Satu hal yang tidak bisa kita pilih adalah berhenti. Quitting is never an option!

Bagiku pribadi, dalam Life Marathon - pertandingan marathon kehidupan - aku punya dua pilihan besar: berserah atau menyerah?

Hhhmmm... berserah atau menyerah? Pilihan yang mempunyai dasar kata yang sama tapi punya arti yang sangat berbeda. Walaupun pada prakteknya perbedaan itu seringkali tidak terlihat, dan alhasil yang terjadi adalah manusia (baca: aku) menjadi apatis dan kehilangan motivasi...berlari asal tanpa arah!

Sebagai seorang yang terlahir dominan kortex (pinjem istilah fingerprint analysis), konsep berserah itu sangat menakutkan. Konsep berserah bagiku tidak dapat diterima dengan mudah karena tidak dapat diterima oleh logika. Bagaimana tidak? Berserah berarti mempercayakan diri kita sepenuhnya pada Sang Pencipta dengan menanggalkan semua hak pribadi kita dan membuang semua kedagingan kita. Berserah dilakukan dengan rela hati tanpa paksaan dari siapa pun dan karena kondisi apa pun. 

Dengan mempercayakan diri sepenuhnya pada Sang Pencipta dan menanggalkan semua hak-hak pribadi kita dengan rela hati dan tanpa paksaan, kita tetap merasa aman dan damai. Kita selalu yakin bahwa rintangan apa pun yang kita temukan dalam Life Marathon kita, semua pasti baik-baik saja. Ibaratnya kalau kita diminta untuk melompat dari gedung 73 lantai, kita tinggal lompat tanpa berpikir, karena kita tahu di dasar sudah ada kasur besar dan empuk yang akan "menangkap" tubuh kita. Tapi mari berhenti sejenak... Apakah kita yakin bahwa kasur besar itu cukup anginnya dan tidak akan tiba-tiba kempes pes pes? Apakah kita yakin bahwa kita akan mendarat di situ? Atau malah salah sasaran dan mendarat di trotoar? Apakah kita yakin bahwa angin tidak akan tiba-tiba bertiup dan kita tiba-tiba membentur jendela-jendela gedung? Ah, sudah lah.. otakku memang sulit menerima bahwa ada hal-hal yang tidak perlu dipikirkan. 

Tapi Tuhan memang hebat dalam mendewasakan manusia. Dalam perjalanan Life Marathon yang sudah disiapkan khusus bagiku, aku tentu saja sering harus menghadapi rintangan dan tantangan. Dari segala rintangan yang aku harus lewati, ada satu  masalah besar yang sangat mengganggu. Pelik, menyesakkan dada, dan seolah tak berujung. Bertahun-tahun masalah ini aku coba hadapi dengan kekuatan otakku yang tidak terlalu besar. Aku menolak berhenti berusaha dan berjuang agar aku mampu keluar dari masalah ini. Kalau ibarat petinju, aku sudah babak belur, berdarah-darah, patah tulang di beberapa tempat. Dan aku masih terus berusaha dengan usaha dan kekuatanku sendiri, menolak untuk berserah. Bukan karena aku tidak percaya pada Sang Pencipta, tapi karena aku takut. Konsep berserah ini membuatku seolah tak berdaya. Dan aku tidak suka berada dalam posisi tidak berdaya. Aku pejuang. Aku seorang fighter. Walaupun aku tahu tenaga dan pikiranku terbatas tapi dalam hidupku aku selalu berpikir bahwa kalau aku tidak berjuang, aku akan mati. 

Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku lelah berjuang. Aku mulai memaksakan diri untuk menikmati masalah dan tekanan yang aku alami. Sebagai pelari Life Marathon aku tidak punya pilihan kecuali terus berlari. Aku punya pilihan untuk berlari sambil marah dan menyesali nasib. Tapi aku tahu bahwa dengan begitu, perjalananku akan terasa sangat berat dan aku akan terus berdarah-darah. Jadi aku memutuskan untuk berlari sambil bernyanyi. Aku berlari sambil terus fokus pada satu tujuan, menyelesaikan pertandingan marathon hidupku. Aku berlari tanpa bertanya lagi "why me?". Sudah lelah aku bertanya karena tidak pernah mendapat jawaban. Akhirnya aku melakukan satu-satunya hal yang paling aku hindari selama hidupku. 

Aku tidak berserah. Aku menyerah. Kenapa? 

Karena pada saat kita berserah, kita melakukannya dengan rela hati tanpa paksaan. Pada saat kita berserah, kita berani melompat dari gedung 73 lantai tanpa berpikir. Just do! Damai sejahtera dan sukacita menjadi reward yang sudah pasti didapatkan di tangan tanpa usaha. Tanggalkan semua hak pribadi dan kedagingan kita. Kita seperti sebuah botol kosong yang hanyut dibawa aliran air. Kemana pun Sang Pencipta membawa kita, kita yakin dan percaya kita akan sampai tujuan dengan selamat. 

Namun menyerah berarti kita menerima kekalahan kita. Kita berjuang sampai titik darah penghabisan dan akhirnya tahu bahwa semua sia-sia. Ada dua pilihan, terus berjuang dan kita akan terus berdarah dan terluka; atau menyerah dan katakan "cukup!" Cukup sudah benturan, pukulan, tusukan, dan tikaman yang kita dapat terima. Sekarang saatnya kita beristirahat. 

Saat beristirahat inilah kita punya kesempatan untuk berdiam diri. Refleksi atas semua kejadian dalam hidup kita yang membuat kita berdarah-darah dan terluka di seluruh tubuh dan jiwa kita. Saat beristirahat inilah otak dan tubuh kita berdiam. Telinga dan mata hati kita mulai bekerja lebih tajam. Janji-janji yang diberikan Sang Pencipta mulai terdengar masuk akal dan lebih mudah dicerna. Sebagian mungkin karena otak dan tubuh kita sudah lelah bekerja. Sebagian lagi mungkin karena ini adalah tujuanNya sejak awal. Agar kita bertumbuh menjadi dewasa. Agar kita bertumbuh menjadi manusia baru yang lebih siap untuk masuk dalam tempat yang sudah Dia siapkan bagi kita. 

Bagiku, hidup adalah pertandingan marathon. Quitting is never an option. Reaching the finish line is a must.

Bagiku, berserah tidak mendewasakan. 

Bagiku, menyerah adalah saat kita keluar dari bejana yang sudah melebur dan membentuk kita. 

Bagiku, menyerah adalah saat di mana logika berhenti bicara. 

Bagiku, menyerah adalah saat kita mampu mendengar suara Sang Pencipta dengan lebih jelas. 

Karena pada saat kita menyerah, kita menanggalkan semua ke-aku-an kita dan mulai membiarkan kuasa Sang Pencipta bekerja. 


No comments:

Post a Comment