Monday, June 23, 2014

Apalah Arti Uang Receh

Repost from Sept 08, 2013

"Terima kasih, Mba.." kata Mba Kasir sambil memberikan uang kembalian berikut sebuah permen kecil berbungkus hijau. Permen itu bukan bonus karena berbelanja di mini market tersebut, tapi karena Mba Kasir tidak punya uang recehan untuk kembalian Rp. 200,-. Memori saya tentang permen pengganti receh ini melekat cukup kuat padahal kejadian seperti itu sudah sangat lama tidak pernah saya alami lagi; mungkin lebih dari lima tahun. Saya tidak ingat apakah sekarang masih ada mini market atau supermarket yang masih menggunakan permen sebagai alat bayar. Namun dulu fenomena ini sangat marak baik di supermarket, mini market, ataupun restaurant sampai-sampai ada artikel yang membahasnya.

Artikel tersebut, yang entah ditulis oleh siapa, berkesan cukup mendalam karena sampai sekarang saya masih suka senyum geli kalau ingat atau membahas itu lagi. Dalam artikel itu dipertanyakan apakah kita boleh membayar dengan menggunakan permen untuk benda seharga di bawah Rp. 500,-. Bayangkan, sungguh pemandangan yang menggelikan bukan kalau ada orang yang mengeluarkan uang sebesar Rp. 1.000,- berikut beberapa buah permen untuk membeli sebungkus kopi instan seharga Rp. 1.500,-? Jujur, saya sangat ingin mencoba tapi saya masih terlalu sayang pada harga diri untuk mencoba melakukan hal sekocak itu.

Setelah bertahun-tahun permen kembalian menghilang dari kebudayaan jual-beli kita - minimal saya tidak pernah mengalami lagi - saya menemukan fenomena lain sehubungan dengan uang kembalian. Kali ini saya rasa jauh lebih parah daripada permen kembalian.

Akhir tahun lalu, 2012, saya makan malam bersama keluarga di sebuah restaurant Jepang yang baru buka di sebuah mall di bilangan utara kota Bandung. Setelah selesai, kami membayar dan menerima kembalian. Waktu saya hitung ternyata uang kembalian yang saya terima tidak sesuai; kekurangannya Rp. 1.800,-. Hati saya tergelitik untuk bertanya tapi saya malu. Dalam hati saya mengatakan pada diri sendiri, "Ah, uang kecil koq pake ribut. Makan saja kita menghabiskan sekian ratus ribu, masa uang kecil ribut." Tapi sesaat sebelum memasukkan uang kembalian yang kurang tadi berikut notanya ke dalam dompet, saya sadar ternyata ada minuman kaleng yang belum tertagihkan. Di supermarket, minuman seperti itu harganya di bawah Rp. 10.000,- jadi saya menyiapkan uang Rp. 15.000,- dan pergilah kita ke meja kasir untuk membayar. Nota tagihan untuk minuman kaleng tersebut keluar dan ternyata saya harus membayar sekitar Rp. 17.000,- termasuk tax & service. Waktu saya merogoh tas untuk mengeluarkan kekurangannya, suami saya berkata, "Pakai saja selisih uang kita yang ada di kembalian tadi." Mungkin karena merasa tidak enak hati, maka Mas Kasir mengiyakan.

Saya pikir kejadian seperti ini hanya terjadi di restoran ini; karena baru buka jadi masih belum siap uang receh untuk uang kembali. Ternyata saya keliru. Malam ini saya makan di restoran Jepang yang baru buka di area Bandung tengah. Karena katanya ada perbedaan management antara penyedia makanan dan minuman, maka minuman dibayar lebih dulu dalam nota terpisah. Ternyata minuman memang disediakan oleh restoran Jepang satu lantai di bawah sementara kami makan di restoran Jepang (yang berbeda jenis) di lantai dua. Saat membayar dan menerima uang kembali dari kedua restoran ini, saya mendapati bahwa uang kembali yang saya terima tidak sesuai. Kali ini jumlah kekurangannya jauh lebih kecil, hanya hitungan di bawah Rp. 1.000,-. Saya tidak mau memperpanjang masalah karena, lagi-lagi, saya malu meributkan uang kecil padahal saya menghabiskan beberapa ratus ribu di restoran itu. Tapi hati saya penasaran dan jadi teringat kejadian akhir tahun lalu. Karena itu, saat sang pelayan restoran memberikan kuestioner, tumpahlah unek-unek dalam hati saya.

Setelah saya renungkan, saya teringat bahwa saya cukup sering mengalami uang kembalian receh yang diminta oleh pihak supermarket. Salah satu supermarket chain besar di Indonesia mempunyai kebiasaan untuk "meminta" uang kembalian sejumlah di bawah Rp. 500,-. Permintaannya kurang lebih seperti ini, "Dua ratus rupiahnya boleh untuk disumbangkan, Bu?" Dan jumlah yang diminta itu akan dicantumkan dalam struk belanja sebagai "donasi". Setelah merenung, saya sadar bahwa saya tidak pernah merasa kesal dengan kejadian ini. Mungkin karena judulnya donasi, saya lebih yakin uang receh itu akan berguna untuk orang-orang yang memang membutuhkan.

Saya tersadar bahwa ini bukan mengenai jumlahnya tetapi lebih pada kejujuran kasir dan/atau pemilik restoran tadi. Saya yakin tulisan saya di kuestioner restoran tadi hanya mewakili segelintir orang saja, tapi setidaknya saya puas dengan mengungkapkan apa yang saya rasakan. Mudah-mudahan ini hanya kejadian sekali-sekali yang terpaksa dilakukan karena restoran baru tersebut belum menyiapkan uang receh untuk uang kembali. Mudah-mudahan ini tidak akan menjadi fenomena pengganti dari fenomena sebelumnya yaitu menggunakan permen sebagai alat bayar.

No comments:

Post a Comment